Friday, December 27, 2013

Motivasi

A.  Definisi Motivasi

Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman2007: 73), menyebutkan bahwa motivasi sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting yaitu: Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia, Motivasi di tandai dengan munculnya, rasa (feeling) yang relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, efeksi dan emosi serta dapat menentukan tinggkah-laku manusia, Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan dan tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan. 

Menurut Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat dikatakan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak.

Menurut Azwar (2000: 15), motivasi adalah rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang atau sekolompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerjasama secara optimal dalam melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 

Menurut Malayu (2005: 143), motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukkan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung prilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal. Sedangkan menurut Edwin B Flippo (dalam malayu 2005: 143), menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu keahlian, dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai. 

Menurut American Enyclopedia (dalam malayu 2005: 143), menyebutkan bahwa motivasi sebagai kecenderungan (suatu sifat yang merupakan pokok pertentang) dalam diri seseorang yang membangkitkan topangan dan mengarahkan tindak-tanduknya. Sedangkan menurut G.R. Terry (dalam malayu 2005: 145) mengemukakan bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. motivasi itu tampak dalam dua segi yang berbeda, yaitu dilihat dari segi aktif/dinamis, motivasi tampak sebagai suatu usaha positif dalam menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan daya serta potensi tenaga kerja, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Sedangkan apabila dilihat dari segi pasif/statis, motivasi akan tampak sebagai kebutuhan sekaligus sebagai peranggsang untuk dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia tersebut ke arah yang diinginkan.

B.  Teori Drive Reinforcement

Teori ”drive” bisa diuraikan sebagai teori-teori dorongan tentang motivasi, perilaku didorong ke arah tujuan oleh keadaan-keadaan yang mendorong dalam diri seseorang atau binatang. Contohnya Freud ( 1940-1949 ) berdasarkan ide-idenya tentang kepribadian pada bawaan, dalam kelahiran, dorongan seksual dan agresif, atau drive. Secara umum, teori-teori drive mengatakan hal-hal berikut : ketika suatu keadaan dorongan internal muncul, individu di dorong untuk mengaturnya dalam perilaku yang akan mengarah ke tujuan yang mengurangi intensitas keadaan yang mendorong. Pada manusia dapat mencapai tujuan yang memadai yang mengurangi keadaan dorongan apabila dapat menyenangkan dan memuaskan. Jadi motivasi dapat dikatakan terdiri dari:
1.    Suatu keadaan yang mendorong
2.    Perilaku yang mengarah ke tujuan yang diilhami oleh keadaan terdorong
3.    Pencapaian tujuan yang memadai
4.    Pengurangan dan kepusaan subjektif dan kelegaan ke tingkat tujuan yang tercapai
Setelah keadaan itu, keadaan terdorong akan muncul lagi untuk mendorong perilaku ke arah tujuan yang sesuai. Pengulangan kejadian yang baru saja diuraikan seringkali disebut lingkaran korelasi.

Teori-teori Drive berbeda dalam sumber dari keadaan terdorong yang memaksa manusia atau binatang bertindak. Beberapa teori, termasuk teori Freud, dipahami oleh keadaan terdorong sejak belum lahir, atau instingtif. Tentang perilaku binatang, khususnya ahli ethologi telah mengusulkan suatu penjelasan suatu mekanisme dorongan sejak kelahiran (Tinbergen, Lorenz, dan Leyhausen dalam Morgan, dkk. 1986). Teori-teori drive yang lain telah mengembangkan peran belajar dalamkeaslian keadaan terdorong. Contohnya, dorongan yang dipelajari (learned drives), seperti mereka sebut, keaslian dalam latihan seseorang atau binatang atau pengalaman masa lalu dan yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Karena penggunaan minuman keras sebelumnya, ketagihan heroin, contohnya mengembangkan suatu dorongan untuk mendapatkan hal tersebut, dan karena itu mendorong ke arah itu. Dan dalam realisasi motif sosial, orang telah belajar dorongan untuk kekuasaan, agresi atau prestasi. Keadaan terdorong yang dipelajari menjadi ciri abadi dari orang tertentu dan mendorong orang itu ke arah tujuan yang memadai, orang lain mungkin belajar motif sosial yang lain dan didorong ke arah tujuan yang berbeda.

C.  Teori Harapan

Teori ini berargumen bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut (Victor Vroom).

Victor Vroom dalam bukunya yang berjudul “Work and Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “teori harapan”. Menurutnya, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka utuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Vroom menjelaskan bahwa motivsi adalah hasil dari tiga faktor :
·      Seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi)
·      Perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan)
·      Perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan atau instrumentalis.

Hubungan antara ketiga factor dapat dinyatakan sebagai berikut :
Valensi x harapan x instrumentalisasi = motivasi

Valensi mengacu pada kekuatan preferensi seseorang untuk memperoleh imbalan. Ini merupakan ungkapan kadar keinginan seseorang untuk mencapai suatu tujuan.

Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan bahwa ketujuh perubahan tersebut adalah pasif menjadi aktif, bergantung menjadi tidak bergantung, sedikit bertindak menjadi banyak variasi bertindak, minat yang tidak menentu dan dangkal menjadi lebih dalam dan kuat,perspektif waktu jarak dekat menjadi jarak jauh, posisi yang menjadi di bawah menjadi setingkat atau bahkan di atasnya, serta kekurangan kesadaran atas dirinya menjadi tahu pengendalian diri.

Instrumentalisasi menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu imbalan apabila dapat meyelesaikan tugasnya.

Hasil ketiga faktor tersebut adalah motivasi,yakni kekuatan dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Kombinasi yang menimbulkan motivasi adalah valensi positif yang tinggi, harapan yang tinggi, dan instrumentalisasi yang tinggi. 

Dengan adanya model harapan ini, para manajer organisasi akan dipaksa untuk menguji proses timbulnya motivasi secara seksama. Model ini juga mendorong mereka untuk merancang iklim motivasi yang akan memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku pegawai yang diharapkan.

Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang baik,suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional, seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi, dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi karyawan tersebut.

Strategi yang tepat untuk memotivasi orang adalah menawarkan pada mereka perangsang, yakni bila mereka berhasil mencapai sasaran – sasaran tertentu. Orang juga perlu tahu tentang kemungkinan bahwa usaha yang dilakukan akan menghasilkan penghargaan sebagai ganjaran prestasinya. 

Orang akan meningkatkan usahanya dalam kondisi-kondisi di bawah ini :
Kerja keras menghasilkan prestasi baik
Prestasi baik menghasilkan imbalan
Imbalan memuaskan kebutuhan penting

Pemuasan kebutuhan terasa sangat besar pengaruhnya sehingga membuat usaha yang dilakukan terasa berharga
Kemungkinan subyektif sangat tinggi dimana usaha akan menuju pada prestasi baik yang menghasilkan imbalan

Jika kemungkinan menerima imbalan rendah (kecil) maka jumlahnya (nilainya) harus sangat tinggi

Dikalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia, teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri Karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehya.

Teori ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja di asumsikan melakukan penilaian rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah, kemudian membuat keputusan yang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada keyakinan persepsi dan nilai-nilai mereka.

D.  Teori Tujuan

Teori tujuan mencoba menjelaskan hubungan-hubungan antara niat atau intentions (tujuan-tujuan dengan prilaku), pendapat in digunakan oleh Locke. Teori ini memiliki aturan dasar, yaitu penetapan dari tujuan-tujuan secara sadar. Menurut Locke, tujuan-tujuan yang cukup sulit, khusus dan pernyataannya yan jelas dan dapat diterima oleh tenaga kerja, akan menghsilkan unjuk kerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan tidak khusus, dan yang mudah dicapai. Hasil penelitian Edwin Locke dan rekan-rekan (1968), menunjukkan efek positif dari teori tujuan pada prilaku kerja.

Locke menunjukan bahwa : 
1.    Tujuan yang cukup sulit ternyata menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang lebih mudah.
2.    Tujuan khusus, cukup sulit untuk menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi.

Penetapan tujuan tidak hanya mempengaruhi kerja itu sendiri, tetapi dapat juga mendorong pegawai untuk mencoba menemukan metode yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan. Teori tujuan berdasarkan pada intuitif yang solid.

Perusahaan menggunakan teori tujuan ini, berdasarkan tujuan-tujuan perusahaan, secara berurutan disusun tujuan-tujuan untuk devisi, bagian sampai satuan kerja yang terkecil untuk diakhiri penetapan sasaran kerja untuk setiap karyawan dalam kurun waktu tertentu

Tujuan-tujuan yang bersifat spesifik atau sulit cenderung menghasilkan kinerja (performance) yang lebih tinggi. Dalam pencapaian tujuan dilakuka melalui usaha partisipasi yang menimbulkan dampak : 
(+) Acceptance (Penerimaan) : sesulit apapun apabila orang telah menerima suatu pekerjaan maka akan dilaksanakan dengan baik.
(-) Timbulnya superioritas pada orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi.
Teori tujuan ini, dapat juga ditemukan dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai. Sasaran pribadi memiliki nilai kepentingan pribadi (valence) yang berbeda-beda.

Proses penetapan tujuan (goal setting) dapat dilakukan berdasarkan prakarsa sendiri. Bila didasarkan oleh prakarsa sendiri, dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja individu bercorak proaktif dan dan ia akan memiliki keikatan (commitment) besar untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan yan telah ia tetapkan. Bila seseorang tenaga kerja memiliki motivasi kerja yang lebih bercorak reaktif, pada saat ia diberi tugas untuk menetapkan sasaran-sasaran kerjanya untuk kurun waktu tertentu, dapat terjadi bahwa keikatan terhadap usaha mencapai tujuan tersebut tidak terlalu besar. 

Teori penetapan tujuan (goal setting theory)

Penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme:
a.    Tujuan adalah yang mengarahkan perhatian
b.    Tujuan adalah yang mengatur upaya
c.    Tujuan adalah meningkatkan persistensi
d.   Tujuan adalah menunjang strategi untuk dan rencana kegiatan

Hasil penelitian Edwin Locke menunjukkan bahwa :
1.    Tujuan yang cukup sulit ternyata menghasilkan tingkat kerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang lebih mudah.
2.    Tujuan khusus, cukup sulit untuk menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi. 

E.  Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Maslow (1943, 1954) mengemukakan bahwa kebutuhan kita sendiri terdiri dari lima kategori:
1.    Fisiologis;
2.    Keselamatan atau keamanan;
3.    Rasa memiliki (belongingness) atau sosial;
4.    Penghargaan;
5.    Aktualisasi diri.

Kebutuhan-kebutuhan ini, menurut Maslow berkembang dalam suatu urutan hirarkis, dengan kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling kuat (prepotent) hingga terpuaskan. Kebutuhan ini mempunyai pengaruh atas kebutuhan-kebutuhan lainnya selama kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Misalnya, akan sulit, meskipun bukan berarti tidak mungkin, untuk memberikan perhatian kepada penghematan bagi masa depan ketika anda merasakan rasa lapar yang hebat.

Jadi kebutuhan fisiologis menuntut pemenuhan sebelum semua kebutuhan lainnya. Meskipun demikian, suatu kebutuhan pada urutan lebih-rendah tidak perlu terpenuhi secara lengkap sebelum kebutuhan berikutnya yang lebih tinggi menjadi aktif, seperti yang ditunjukkan oleh garis-garis yang tumpang tindih dalam bentuk spiral . Anda mungkin memperhatikan keselamatan anda meskipun anda tampak capai. Namun, kemungkinannya adalah sebagian besar kebutuhan beikutnya menjadi pendorong yang kuat.

Konsep prepotency mengasumsikan juga bahwa suatu kebutuhan yang terpenuhi bukan lagi merupakan suatu pendorong. Hanya kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mendorong orang untuk bertindak dan mengarahkan perilaku mereka kepada suatu tujuan.

Lima perangkat kebutuhan yang tersusun dalam suatu tatanan hierarkis, dimana kebutuhan fisiologis berada pada urutan lebih bawah, keselamatan dan keamanan berikutnya, kebutuhan akan rasa memiliki (belonging) di tengah, penghargaan (esteem) lebih tinggi, dan kebutuhan akan aktualisasi diri berada pada urutan paling atas. Begitu kebutuhan tubuh dipenuhi, orang mencari kepuasan akan keselamatan dan keamanan; lalu ketika orang merasa aman, ia termotivasi oleh kebutuhan berikutnya—penghargaan. Ketika pekerja mampu memuaskan kebutuhannya yang lebih rendah, apa yang ia anggap terpenting atau memuuaskan adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang berharga dan terkabulnya keinginan tersebut.

Kaitan antara Teori Motivasi dengan Psikologi Manajemen

Pelaksanaan tugas dan pekerjaan merupakan suatu kewajiban bagi para pegawai di dalam suatu organisasi, baik dalam organisasi pemerintahan maupun organisasi non pemerintahan. Kemudian di dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan tersebut tentunya pasti mempunyai suatu tujuan yang sama yakni mengharapkan suatu hasil pekerjaan dan tugas yang baik serta memuaskan sesuai dengan apa yang ditentukan sebelumnya. Untuk mendapatkan suatu hasil kerja yang baik dan sesuai dengan tujuan organisasi maka setiap pimpinan suatu organisasi dapat dipastikan mempunyai suatu aturan dan ketentuan yang dituangkan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan ini dibuat dengan maksud agar setiap komponen organisasi melaksanakan tugas sesuaidengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, perlu adanya suatu factor yang harus dimiliki oleh para pegawai, yakni semangat kerja. Semangat kerja itu sendiri timbul dan tumbuh dalam diri pegawai yang disebabkan adanya motivasi dari pimpinan dalam arti pemimpin memberi motivasi atau dorongan kepada pegawai atau anggotanya, baik kebutuhan batin maupun kebutuhan lahir. Oleh karena itu, pemberian motif oleh pemimpin merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan agar tumbuh dan timbul semangat kerja dalam diri pegawai, sebab keberhasilan pegawai sangat tergantung dari motivasi dan kebijakan yang diberikan oleh pimpinan. Semangat kerja sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perilaku pimpinannya.

Perilaku pemimpin yang baik yaitu:
1.    Seorang pemimpin harus selalu berfikir positif, selalu antusias, mampu memahami dan menghargai pihak lain (bawahan), tetap tenang saat dalam situasi sulit ataumenegangkan, tetap optimis, tidak mengumpat terhadap bawahan, menjelaskankesalahannya pada waktu dan tempat yang tepat.
2.    Tidak menunda jawaban atau member jawaban yang mengambang
3.    Memberi perintah dengan gaya minta tolong
4.    Tidak lupa memberi hadiah atau penghargaan.


Keempat hal tersebut sangat mempengaruhi semangat kerja pegawai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Dalam suatu organisasi sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu organisasi. Harapan menimbulkan motivasi atau mendorong pegawai melakukan kegiatan-kegiatan guna mencapai tujuan, dalam rangka memenuhi kebutuhan mulai dari kebutuhan fisiologis, sosial, rasa aman, penghargaan danaktualisasi diri. Terpenuhinya kebutuhan sesuai harapan mendatangkan kepuasan kerja.

Sumber:

Teori-Teori Leadership

A.  Definisi Leadership
·      Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki
(H. Abu Ahmadi, 1999:124-125).
·      Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
·      Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan
(Jacobs & Jacques, 1990, 281)
·      Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
(Slamet, 2002: 29).
·      Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
(Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
·      Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29).
·      Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123).
·      Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.

B.  Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif

Teori X dan Y dari Mc Douglas
1. Teori X
Teori X menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Individu yang berperilaku teori X mempunyai sifat : tak suka dan berusaha menghindari kerja, tak punya ambisi, tak suka tanggung jawab, tak suka memimpin, suka jadi pengikut, memikirkan diri tak memikirkan tujuan organisasi, tak suka perubahan, sering kurang cerdas.

Contoh individu dengan teori X : pekerja bangunan.
Keuntungan Teori X : Karyawan bekerja untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi.
Kelemahan Teori X :
a. Karyawan malas
b. Berperasaan irrasional
c. Tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin
2. Teori Y
Teori Y memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Individu yang berperilaku teori Y mempunyai sifat : suka bekerja, commit pada pekerjaan, suka mengambil tanggung jawab, suka memimpin, biasanya orang pintar.
Contoh orang dengan teori Y : manajer yang berorientasi pada kinerja.
Keuntungan teori Y :
a. Pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri,
b. Tanggung jawab,
c. Inisiatif tinggi,
d. Pekerja akan lebih memotivasi diri dari kebutuhan pekerjaan.
Kelemahan Teori Y : Apresiasi diri akan terhambat berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan

Teori Sistem 4 dari Rensis Likert

Asumsi Dasar
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baikmaka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem:
1.    Sistem pertama : sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik.
2.    Sistem kedua : sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan.
3.    Sistem ketiga : sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan.
4.    Sistem keempat : sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan.

Teori of Leadership Pattern Choice dari Tannebaum dan Schmidt

Model Leadership Continuum
Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, dimana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan.
Perilaku demokratis, perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan.
Menurut teori continuum ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan:
1. Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).
2. Pemimpin menjualkan dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).
3. Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan.
4. Pemimpin memberiakn keputusan tentative dan keputusan masih dapat diubah.
5. Pemimpin memberikan problem dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan
(consulting).
6. Pemimpin menentukan batasan-batasan dan minta kelompok untuk membuat keputusan.
7. Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan (joining).

Jadi, berdasarkan teori continuum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan dasar:
1. Berorientasi kepada pemimpin.
2. Berorientasi kepada bawahan.

C.  Modern Choice Approach to Participation

Konsep Decision Tree of Leadership dari Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.

Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
·      AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
·      AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral.
·      CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
·      CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
·      GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.

Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
·      Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973).
·      Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
·      Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
·   Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
·  Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
·     Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
·      Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.

Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.

Hal-hal yang harus diperhatikan :
1.    Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2.    Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3.    Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
4.    Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan.

D.  Contigency Theory of Leadership dari Fiedler

Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.

Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.

Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya:
·      Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam kelompok
·      Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari unit
·   Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur

Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Misalnya:
·      Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
·      Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur

Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Misalnya:
·      Tunjukkan pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
·      Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
·      Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

E.  Path Goal Theory

Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal. Teori path-goal adalah suatu model kontingensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.

Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).

Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Menurut teori path goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).

Model kepemimpinan path goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.

Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.    Fungsi Pertama yaitu memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagai mana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya.
2.    Fungsi Kedua yaitu meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.

Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003):
1.    Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2.    Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3.    Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4.    Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1.    Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a.    Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b.    Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c.    Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2.    Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a.    Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b.    Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
a.    Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
b.    Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
c.    Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.


Sumber: