A. Definisi Leadership
· Menurut
John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan
individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki
(H. Abu Ahmadi, 1999:124-125).
(H. Abu Ahmadi, 1999:124-125).
· Kepemimpinan
adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui
proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
· Kepemimpinan
adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada kerjasama
dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan
(Jacobs & Jacques, 1990, 281)
(Jacobs & Jacques, 1990, 281)
· Kepemimpinan
merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi
orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
(Slamet, 2002: 29).
(Slamet, 2002: 29).
· Kepemimpinan
adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.
(Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
(Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
· Kepemimpinan
adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk
mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung
melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29).
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29).
· Kepemimpinan
adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123).
· Kepemimpinan
adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian,
termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka
meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin,
serta merasa tidak terpaksa.
B.
Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif
Teori X dan Y dari Mc Douglas
1.
Teori X
Teori
X menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka
bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya. Individu yang berperilaku teori X mempunyai sifat : tak
suka dan berusaha menghindari kerja, tak punya ambisi, tak suka tanggung jawab,
tak suka memimpin, suka jadi pengikut, memikirkan diri tak memikirkan tujuan
organisasi, tak suka perubahan, sering kurang cerdas.
Contoh individu dengan teori X : pekerja
bangunan.
Keuntungan Teori X : Karyawan bekerja
untuk memaksimalkan kebutuhan pribadi.
Kelemahan Teori X :
a. Karyawan malas
b. Berperasaan irrasional
c.
Tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin
2.
Teori Y
Teori
Y memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan
sehari-hari lainnya. Individu yang berperilaku teori Y mempunyai sifat : suka
bekerja, commit pada pekerjaan, suka mengambil tanggung jawab, suka memimpin,
biasanya orang pintar.
Contoh orang dengan teori Y : manajer
yang berorientasi pada kinerja.
Keuntungan teori Y :
a. Pekerja menunjukkan kemampuan
pengaturan diri,
b. Tanggung jawab,
c. Inisiatif tinggi,
d. Pekerja akan lebih memotivasi diri
dari kebutuhan pekerjaan.
Kelemahan Teori Y : Apresiasi diri akan
terhambat berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan
Teori Sistem 4 dari Rensis Likert
Asumsi
Dasar
Bila seseorang memperhatikan dan
memelihara pekerjanya dengan baikmaka operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem:
1. Sistem
pertama : sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak
memerlukan umpan balik.
2. Sistem
kedua : sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan
karyawan.
3. Sistem
ketiga : sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan.
4. Sistem
keempat : sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan.
Teori of Leadership Pattern Choice dari Tannebaum dan Schmidt
Model
Leadership Continuum
Teori
ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmidt.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa
pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang
menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan
cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis.
Perilaku
otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, dimana sumber kuasa atau
wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan.
Perilaku
demokratis, perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang
berawal dari bawahan.
Menurut teori continuum ada tujuh
tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan:
1. Pemimpin
membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).
2. Pemimpin
menjualkan dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).
3. Pemimpin
menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan.
4. Pemimpin
memberiakn keputusan tentative dan keputusan masih dapat diubah.
5.
Pemimpin memberikan problem dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan
(consulting).
6. Pemimpin
menentukan batasan-batasan dan minta kelompok untuk membuat keputusan.
7. Pemimpin
mengizinkan bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan (joining).
Jadi, berdasarkan teori continuum,
perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan dasar:
1. Berorientasi
kepada pemimpin.
2.
Berorientasi kepada bawahan.
C. Modern Choice Approach to
Participation
Konsep
Decision Tree of Leadership dari Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang
pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para
pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa
komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan
yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam
jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan
baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan
meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
· AI
(Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara
unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
informasi yang ada.
· AII
(Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun
setelah membuat keputusan unilateral.
· CI
(Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
· CII
(Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
· GII
(Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan
diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih
alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu
terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah
kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki
informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah
permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan
penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk
efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan
menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
· Normative
Theory: Rules Designed To Protect
Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973).
· Leader
Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup
informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya
autucratic.
· Goal
Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk
membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured
Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup
informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya
kepemimpinan autocratic.
· Acceptance
Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif,
eliminasi gaya autocratic.
· Conflict
Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif,
dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran,
eliminasi gaya autocratic.
· Fairness
Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka
gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance
Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil
dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan
organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu
pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak
ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada
masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya
kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang
dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal
yang harus diperhatikan :
1. Beberapa
proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi
kriteria untuk menilai keefektifan keputusan yang termasuk dalam keefektifan
keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan
pertimbangan waktu.
3. Kerangka
untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
4. Variabel
diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan.
D. Contigency Theory of Leadership
dari Fiedler
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman
sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada
anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi
dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya
masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan
kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami
bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke
situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori
tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan
teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa
berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi
bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi
seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan
oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi
kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin,
kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low
LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif
dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi
kepada orang atau hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat
rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan
lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya
moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai
model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin
terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya
kepemimpinan (leadership style) dan
kesesuaian situasi (the favourableness of
the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya
mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan
antara pemimpin dan bawahan (leader-member
relations), struktur tugas (the task
structure) dan kekuatan posisi (position
power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan
sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan
bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya:
·
Meminta orang
tertentu untuk bekerja dalam kelompok
·
Memindahkan
bawahan tertentu ke luar dari unit
· Sukarela
mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur
Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana
tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana
definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur
yang baku.
Misalnya:
·
Jika mungkin,
memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
·
Bagi tugas
menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana
kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan
dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai
dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai
sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan
hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Misalnya:
·
Tunjukkan pada
bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
·
Pastikan informasi
pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
·
Biarkan bawahan
berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
E. Path Goal Theory
Salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah
teori path-goal. Teori path-goal adalah suatu model kontingensi kepemimpinan
yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari
penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan
consideration serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas
pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk
memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan
mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.
Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif
memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian
tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah
dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan
bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha
dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness).
Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan
kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai
dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling
efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil
yang bernilai tinggi.
Menurut teori path goal, suatu perilaku pemimpin
dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai
sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan
memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam
pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan
dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk
pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin.
Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative
leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler
tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat
fleksibel. Teori path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu
menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi
(Robins, 2002).
Model kepemimpinan path goal berusaha meramalkan
efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin
menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk
melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path goal
karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya
pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama yaitu memberi kejelasan alur.
Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami
bagai mana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua yaitu meningkatkan jumlah hasil
(reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan
pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin
dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan
dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto,
2003):
1. Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang
diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan
standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang
cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan,
organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian
akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan
menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi,
sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di
antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan
pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan
dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan.
Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya
kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan
bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari
pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di
atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut,
seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau
bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan
mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan
kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang
diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and
demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal
memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan
jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera
bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan
masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali
(Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan
dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini
bahwa hasil (reward) yang mereka
peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka
yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh
dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal
cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan
eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b. Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang
lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya
kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism
rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi
apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi
prestasi (achievement-oriented) yang
telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi
yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan
mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung
memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang
mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2.
Karakteristik
Lingkungan
Pada faktor
situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi
faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a.
Perilaku
tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b.
Perilaku
tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa
pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan
pelaksanaan kerja.
Karakteristik
lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
a.
Struktur Tugas
Struktur kerja
yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
b.
Wewenang Formal
Kepemimpinan
yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi
organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
c.
Kelompok Kerja
Kelompok kerja
dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Sumber:
No comments:
Post a Comment